religion, islam,

Pasca NU-Muhammadiyah

Jan 05, 2021 · 6 mins read
Pasca NU-Muhammadiyah

Artikel sederhana ini mencoba memaknai tulisan dari Buya Syafi’i Maarif yang berjudul “Pesan untuk Muhammadiyah dan NU” yang termuat dalam harian Kompas (05/01/2021). Bukan rahasia lagi bahwa NU dan Muhammadiyah bagi banyak orang merupakan suatu kelompok dengan simbol dan gerakan yang berbeda. Muhammadiyah dipandang sebagai kelompok umat islam puritan (modernis), sementara NU (Nahdlatul Ulama) dipandang sebagai kelompok umat islam konservatif atau tradisional.1

Meskipun berbeda dan sering terjadi gesekan yang kadang mencekam, masyakarat sendiri mulai bisa memahami bahwa perbedaan yang terjadi tersebut terletak pada bentuk penafsiran lahiriah dan bukan pada hal prinsipil dalam agama itu sendiri. Semisal perbedaan tentang qunut atau tidak, soal lebaran ‘gasik’ (lebih dulu), dan perbedaan-perbedaan lainnya.

Masyarakat sudah dewasa dalam memahami perbedaan tersebut sebagai hal yang sangat lumrah, sehingga tidak perlu lagi terus-menerus dipertentangkan.

Penafsiran keagamaan sesuai konteks wilayahnya

Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم , menyampaikan ajaran Islam di dua kota suci Al-Haramayn (الحرمين‎) yaitu Mekkah dan Madinah dan kemudian menyebar ke seluruh dunia. Di kedua tempat tersebut Islam berinteraksi dengan budaya dan adat kebiasaan masyarakat setempat. Budaya setempat yang bagus dipertahankan, yang tidak bagus ditolak dan ada pula yang diluruskan.

Habib Muhammad Quraish Shihab menjelaskan, dalam hal ini Al-Qur’an dengan jelas dan tegas memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar mengukuhkan ma’ruf (معروف) (budaya positif masyarakat) yang tidak bertentangan dengan nilai yang ada di Al-Qur’an, serta melarang budaya yang mungkar (منكر) atau menyimpang.2

Banyak sekali budaya-budaya positif dari kedua kota suci tersebut yang masih dipertahankan, terutama jika tidak ada pelarangan secara pasti tentang hal tersebut dalam petunjuk keagamaan. Dari hal tersebut kemudian lahirlah kaidah اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ yang berarti adat kebiasaan masyarakat yang bagus dan tidak bertentangan dengan tuntunan agama yang bersifat pasti (قطع) dapat dijadikan sebagai pertimbangan suatu hukum.

اختلاف أمتي رحمة

“Perbedaan pendapat pada umatku adalah rahmat.”

Setiap pendapat tidak bisa terlepas dari konteks sosial budaya masyarakat serta ilmu pengetahuan yang ada pada saat itu, sehingga muncullah pendapat keislaman yang beragam. Di Indonesia sendiri terdapat perbedaan karakteristik yang cukup fundamental antara komunitas Islam yang ada di desa dan islam yang ada di kota pada umumnya.

Islam Desa dan Islam Kota

Islam Desa

Komunitas masyarakat islam yang tinggal di desa atau kita sebut dengan Islam Desa sangat kuat dalam membangun relasi sosial yang harmonis antar-kelompok etnis dan agama. Dan seringkali dalam merawat dan menjaga keharmonisan tersebut mereka rela “mengorbankan” ego, identitas primordial keagamaan.3

Mereka mengenal istilah tepo-seliro, yang berarti tenggang rasa. Salah satu nilai luhur yang dipegang teguh oleh masyarakat desa pada umumnya yang mengajarkan bahwa di dalam hidup, keberagaman dan perbedaan bisa berjalan bersama, beriringan dan harmonis dalam menciptakan keindahan dan kedamaian.

Islam Desa memiliki pola pikir yang sederhana tetapi punya makna yang sangat dalam. Membangun toleransi dan hubungan baik dengan orang lain secara harmonis antar-kelompok agama dan masyarakat itu lebih utama ketimbang bersikukuh dengan doktrin ataupun tafsir keagamaan yang dimiliki.

Islam Kota

Hal ini tentu sangat berbeda dengan komunitas masyarakat islam yang tinggal di kota atau kita sebut dengan Islam Kota. Bagi kita, yang paling utama adalah bagaimana beribadah dengan tenang dan berakidah Islam yang murni. Bagaimana kita memiliki jiwa, sikap, dan praktik bertauhid hanya menuhankan Allah Yang Maha Esa dan tidak menyekutukan dengan suatu apapun.

Hal ini juga bisa dipahami karena di kota dengan berbagai macam pengaruh budaya dari luar yang sangat masif yang seringkali tidak sesuai dengan nilai islam begitu mudah sekali masuk tanpa adanya filter terlebih dahulu. Pengaruh budaya ini dapat mempengaruhi keagamaan dan budaya masyarakat muslim perkotaan pada umumnya.

Masyarakat komunitas muslim pun khususnya di Islam Kota dengan begitu banyak dan masifnya pengaruh dari luar dibandingkan muslim yang ada di desa harus pasang badan dan membuat filter atau pertahanan yang sangat kuat agar identitas muslim ini tidak pudar. Sehingga pemahaman yang konkrit dan jelas bagaimana ber-Islam yang murni agar terhindar atau tercampur dengan budaya yang tidak islami sangat diperlukan.

Banyaknya kegiatan kemaksiatan yang terjadi di kota, banyak membuat ketidaknyamanan bagi muslim yang tinggal di perkotaan pada umumnya, semisal diskotik dengan minuman-minuman kerasnya, serta akumulasi tempat maksiat yang cenderung dibiarkan membuat banyak masyarakat yang gerah meskipun berulang kali mencoba menegur, sehingga bergerak bersama menjadi sebuah solusi perubahan. Maka dari itu simbol keagamaan merupakan pilar yang sangat penting untuk menyatukan dan menunjukkan komunitas Islam Kota.

Lupakan sekat

Pertanyaan kemudian apakah generasi baru Muhammadiyah-NU yang masing-masing merepresentasikan gerakan Islam Kota dan Islam Desa bersedia keluar dari sekat-sekat ‘sempit’ tersebut?. Semestinya tidak ada lagi alasan untuk terus terkurung dalam lingkaran yang sangat terbatas tersebut.

Seperti ‘Dawuh’ Buya Syafi’i Maarif, Muhammadiyah dan NU benteng untuk membendung infiltrasi ideologi yang sudah kehilangan perspektif tentang keindonesiaan, keislaman dan kemanusiaan. Serta menjaga keutuhan Indonesia dari segala macam tangan perusak termasuk orang-orang yang memakai bendera agama. Kedua arus utama ini harus semakin menancapkan jangkar sedalam-dalamnya di samudra nusantara.

“Waktu saya di Mesir, anak-anak NU dan Muhammadiyah sama-sama belajar di satu tempat. Saya berkesimpulan, perbedaan antara NU dan Muhammadiyah di masa depan tidak akan ada lagi. Selama ini, Muhammadiyah pembaru, NU tradisional, yang akan terjadi, dua-duanya tradisional atau dua-duanya pembaru.” (Harun Nasution).4

Dari hal itu semua, kita akan dapat memahami tantangan yang ada di setiap sisi masyarakat muslim baik itu yang tinggal di desa maupun yang tinggal di kota. Sehingga secara bersama-sama dapat merumuskan bagaimana dan seperti apa ekspresi keagamaan yang harus dikembangan bersama di masa depan sebagai pusat peradaban Muslim Dunia ?.

Pasca NU-Muhammadiyah : Indonesia sebagai pusat peradaban Muslim Dunia

NU dan Muhammadiyah yang merupakan tenda besar bagi bangsa dan negara, harus saling berbagi dan saling membantu dalam menghadapi tantangan-tantangan besar di depan.

Ketika negara-negara di sekitar kelahiran Islam dan timur tengah sedang dilanda peperangan serta konflik internal yang tak kunjung ada habis-habisnya, banyak harapan besar terhadap Indonesia.

Islam terlalu besar dan mulia untuk hanya dijadikan kendaraan duniawi yang terlalu rendah, eman-eman (sangat disayangkan).

Seharusnya kita semua bisa menatap masa depan bersama, berjuang bersama dalam menjalankan titah menjadi wakil Tuhan yang ada di bumi untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya untuk kelompok tertentu saja, namun rahmat bagi seluruh jagad semesta ntah itu yang hidup ataupun tak hidup.

Wajah Islam Dunia dimasa depan akan sangat ditentukan bagaimana kita (baca: Indonesia) memahami dan menghayati apa itu Islam.

Indonesia memiliki potensi besar yang akan tampil menjadi pusat peradaban islam berikutnya. Setelah zaman Abbasiyyah (Baghdad, Irak) dan Al-Andalus (Cordoba, Spanyol). Kemudian Utsmaniyah di Turki. Tentunya dengan corak tersendiri yang khas dan unik yang berbeda dari peradaban-peradaban pada masa sebelumnya.

Teruntuk Buya Syafi’i Maarif, Terima kasih selalu menjadi teladan, kompas dan guru bangsa kami dalam menatap masa depan.

Referensi

1: Adam Schwarz, “Islam: Coming in from the Cold dalam bukunya, A Nation in Waiting, Indonesia in The 1990’s”, (Sydney: Allan and Unwin, 1994), p. 171. Lihat pula Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, cet. I (Jakarta: LP3ES, 1980)

2: Shihab, M. Q.. “Islam yang Saya Anut : Dasar-Dasar Ajaran Islam.” (2018).

3: Deutsche Welle. “Komunitas ‘Islam Kampung’ versus Jamaah ‘Islam Kota’: DW: 29.02.2020.” DW.COM, www.dw.com/id/komunitas-islam-kampung-versus-jamaah-islam-kota/a-52527047.

4: Azhari, Susiknan. “Karakteristik Hubungan Muhammadiyah dan NU dalam Menggunakan Hisab dan Rukyat.” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies 44.2 (2006): 453-486.



Ahmad Mustafid
Ahmad Mustafid   
An inquirer. A conceptualizer. A thinker

Tags : religion id islam