Indonesia dikenal sebagai Negara yang penduduknya ramah. Namun pada kenyataannya, akhir-akhir ini salah satu perusahaan teknologi yaitu Microsoft menyajikan data dari hasil survey yang menyatakan bahwa penduduk Indonesia menempati posisi sebagai negara paling tidak sopan. Survey ini diperoleh dari hasil analisis tentang keramahan penduduk Indonesia di media sosial.
Microsoft memaparkan data tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang tahun 2020. Hasilnya menunjukkan bahwa indonesia berada pada urutan ke-29 dari 32 negara yang disurvei. Dari hasil tersebut, Indonesia ditempatkan pada tingkat kesopanan yang paling rendah di Asia Tenggara.
Apakah Benar Keramahan Tidak Lagi Dimiliki Masyarakat Indonesia?
Ketika kita melihat Indonesia yang terdiri dari banyak suku bangsa, kita akan menyadari bahwa Indonesia terlahir secara genetik sebagai sebuah Bangsa yang kaya akan keberagaman. Berbaur dalam sebuah bangsa yang sama, masing-masing suku membangun harmoni dengan saling berinteraksi. Interaksi yang dibangun dalam masyarakat Indonesia diupayakan untuk tetap mempertahankan identitas dari masing-masing entitas. Sehingga setiap suku dan budaya yang ada tetap terjaga eksistensinya dalam harmoni ke-Indonesia-an. Sejalan dengan semboyan yang dijunjung oleh Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan ini sesuai dengan konsep multikultur ‘salad bowl’ atau yang lebih dikenal dengan konsep multikultur ‘gado-gado’1 . Konsep ini sangat sesuai apabila diterapkan di Indonesia karena masing-masing entitas akan tetap memegang teguh identitasnya namun saling membaur dan melengkapi membentuk satu entitas baru yaitu Indonesia. Hal inilah yang membuat masyarakat Indonesia mampu memunculkan sifat tenggang rasa dan saling menghargai antar manusianya.
source image : link
Menurut seorang Sosiolog, Tantan Hermansah, yang dikutip dari keterangannya di VOI Indonesia, seiring perkembangan zaman dengan perubahan kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik mendorong adanya pergeseran di masyarakat. Konstruksi sosial yang dibangun bukan lagi oleh nilai-nilai keluhuran budi. Karakter orang Indonesia yang ramah akan terus bertahan tetapi motif dari komprominya berubah. Bukan soal bagaimana saling menjaga tetapi bergeser ke arah yang lebih pragmatis. Keramahan penduduk Indonesia cenderung sangat termotivasi untuk meraih ataupun mencari keuntungan tertentu 2 .
Konstruksi tentang ‘keramahan’ masyarakat Indonesia telah terbangun sejak zaman kita sekolah. Dahulu ketika kita belajar di sekolah sering dikatakan bahwa orang luar negeri senang ketika datang ke Indonesia salah satu penyebabnya adalah orang indonesia ramah-ramah. Pelancong yang berlibur tersebut butuh dilayani dan basis utama dari pelayanan adalah keramahan supaya bisa diterima dengan mudah oleh orang lain.
Karena kalau kita tidak ramah kepada pengunjung atau orang asing yang datang, pasti mereka akan merasa tidak nyaman dan mereka akan mudah sekali pergi. Penduduk lokal pun ingin para pelancong tersebut tetap bertahan di Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai destinasi andalannya karena mereka ingin pelancong tersebut menghabiskan uang untuk berbelanja, menyewa penginapan, dll. Masyarakat Indonesia mulai memahami bahwa keramahan dan senyum mereka-lah yang mampu menghasilkan uang. Dari fenomena tersebut dapat diketahui bahwa terdapat hubungan mutualisme kuat disini.
Tetapi ketika kita melihat di ruang sosial media kita apakah ruang maya tersebut bisa menggambarkan secara utuh bagaimana yang sebenarnya terjadi di masyarakat Indonesia? Atau justru ruang maya tersebut menggambarkan masyarakat Indonesia yang sesungguhnya?
Saya masih meyakini bahwa masyarakat Indonesia di dunia nyata masih mengetahui apa yang disebut etika, mana orang-orang yang perlu dihormati, dan mana yang perlu dituakan. Tetapi kadang penghormatan tersebut juga telah bergeser ke arah materialisme, baik berupa kekayaan maupun jabatan. Sehingga pergeseran nilai etika di masyarakat tersebut bukan lagi berdasar pada nilai kebaikan, keluhuran, dan kesucian.
Materialisme bukanlah hal yang buruk, tetapi ketika paham ini dijadikan pegangan hidup yang memandang segala hal dari kebendaan semata baik itu berupa harta, kekayaan, dan uang, hal tersebut akan menjadikan perubahan perilaku manusia menjadi tidak baik. Karena tujuannya adalah materi bukan upaya saling menjaga eksistensi antar manusia.
Ketika keramahan dan etika yang dibangun dengan tujuan hal-hal yang berbau materi saja, maka masyarakat hanya akan berfokus pada tujuan materi tersebut saja. Sehingga hal ini akan berdampak pada perilaku manusia yang mengabaikan etika ketika tidak menghasilkan materi. Hal penting yang harus disadari adalah bahwa bangunan keramahan jika ditujukan pada hal-hal yang bersifat materi justru hanya akan menjadi ‘topeng’ semata, termasuk keramahan.
Apakah Hasil Survey Microsoft Menggambarkan Masyarakat Indonesia yang Sebenarnya?
Seiring perkembangan teknologi, semakin mudah juga manusia untuk saling berhubungan dan berinteraksi satu sama lain. Interaksi yang di masa lalu perlu menempuh jarak dan waktu yang lama, kini dengan mudah untuk dijangkau melalui media sosial. Di media sosial setiap orang bisa dengan bebas memakai suatu identitas yang dikehendaki, hal ini berimplikasi pada kebebasan orang-orang untuk memakai ‘topeng’ baik untuk menghujat, menyebar hoax , dan sebagainya.
source image : link
Seringkali interaksi yang terjadi di media sosial berbanding terbalik dengan interaksi nyata yang ada di masyarakat. Kita merasa terlindungi ketika berada di sosial media karena menggunakan identitas yang berbeda. Hal tersebut sangat berbeda ketika kita di dunia nyata, identitas asli kita akan senantiasa melekat di dalam diri kita dan tidak bisa dengan mudah kita lepaskan. Sementara di media sosial, kita bisa dengan mudah mengganti-ganti bahkan menggunakan akun alter dengan identitas yang berbeda di media sosial sekarang. Fakta tersebut dikonfirmasi oleh hasil penelitian Microsoft bahwa 48% resiko adanya ujaran kebencian, hoax hingga diskriminasi dihasilkan oleh akun-akun stranger .
Hal tersebut mengakibatkan banyak dari kita melakukan hujatan dan menyebar informasi dengan tidak menggunakan identitas asli kita, sehingga kebencian dan kemarahan bisa dengan mudah diekspresikan di dunia maya. Pemanfaatan ruang maya ini dianggap sebagai ruang bebas untuk berekspresi sedemikian rupa karena di dunia nyata berbenturan dengan cara kita menjaga hubungan tenggang rasa, saling menghargai dan menjaga eksistensi antar manusia sendiri.
Sepatutnya hasil penelitian Microsoft tersebut dijadikan landasan sebagai bentuk refleksi bagi kita Masyarakat Indonesia untuk menyadari ‘apakah selama ini keramahan kita hanya topeng belaka?’. Kita perlu bekerjasama dari seluruh elemen masyarakat dan berbagai sektor untuk memperbaiki nilai kesopanan dan keramahan masyarakat Indonesia di ranah online pada khususnya. Berdasarkan hasil survey Microsoft, selain sektor media sosial, pemerintahan, media berita, dan institusi agama, sektor penting yang diharapkan untuk dapat memperbaiki kesopanan masyarakat Indonesia di dunia maya adalah sektor pendidikan. Hal ini sesuai dengan fungsinya bahwa pendidikan dituntut untuk mampu menstabilkan tatanan sosial, melestarikan budaya dalam masyarakat dan berperan sebagai instrumen rekonstruksi sosial. Tantangan yang cukup besar buat kita semua dan bagaimana kita membangun masa depan Indonesia yang berakar langsung dari keluhuran budi pekerti dari berbagai macam budaya dan masyarakat yang ada di Indonesia, dan menjadikan Society 5.0 yang dibangun atas pondasi harmoni, keluhuran, kebaikan, kesantunan dan akar budaya masyarakat kita sendiri.
Referensi
1: Advani, A., & Reich, B. (2015). Melting Pot or Salad Bowl: The Formation of Heterogeneeous Communities. London: Institute for Fiscal Studies.
2: Mahabarata, Y., & Aditya Fajar, I. (2021). Di Usia Berapa Kamu Sadar Keramahan Indonesia Ternyata Semu? Berterimakasihlah pada Microsoft. VOI.ID. https://voi.id/bernas/36010/di-usia-berapa-kamu-sadar-keramahan-indonesia-ternyata-semu-berterimakasihlah-pada-microsoft. (diakses pada tanggal 27 Februari 2021).